Kebahagiaan Kekal Menanti Bagi Pelaku Firman Tuhan

Pdm. Budy Avianto, Minggu, Lemah Putro, 8 April 2018

Shalom,

Orang tua (yang normal) pasti sangat mengasihi anak-anak mereka dan berusaha mendidik sebaik mungkin demi kebaikan dan masa depan anak itu sendiri. Setiap rumah tangga pasti memiliki peraturan sendiri dalam membesarkan anak tetapi semua peraturan bahkan yang keras, tegas dan bersifat ‘menghukum’ pun tidak ber-tujuan menyengsarakan si anak.

Alkitab memberikan suatu perumpamaan tentang kasih seorang ayah terhadap dua putranya. Pada suatu hari si bungsu menghadap ayahnya dan menuntut bagian harta warisan yang menjadi haknya. Si ayah membagi-bagikan harta kekayaan di antara mereka. Apa yang diperbuat oleh si bungsu setelah itu? Beberapa hari kemudian dia menjual seluruh hartanya lalu pergi ke negeri jauh dan hidup berfoya-foya menuruti keinginan hawa nafsu. Setelah seluruh hartanya ludes timbullah bencana kelaparan di negeri itu dan ia pun jatuh melarat. Karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa dia bekerja di peternakan babi. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu tetapi tidak seorang pun memberikannya kepadanya. Akhirnya dia sadar bahwa di rumah ayahnya tersedia makanan berlimpah sementara dia di negeri itu akan mati kelaparan. Dia menyesal telah berdosa kepada Bapa Surgawi dan kepada ayahnya. Dia merasa tidak layak disebut anak tetapi memo-sisikan diri sebagai orang upahan ayahnya. Ia memutuskan pulang ke rumah ayahnya (Luk. 15:11-19). Siapa yang menggerakkan hatinya untuk berbuat demikian? Roh Kudus sebab dia mengaku telah berdosa.

 

 

Apa reaksi bapanya ketika melihat si bungsu dari kejauhan? Si ayah tergerak hatinya oleh belas kasihan lalu berlari mendapatkan dia kemudian merangkul dan menciumnya (menunjukkan hubungan yang erat). Lebih lanjut si ayah menyuruh hambanya mengambilkan jubah terbaik, cincin dan sepatu serta menyembelih anak lembu tambun (kurban penghapus dosa; Im 9:2) sambil berkata, “Anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk. 15:24)

Apakah si sulung yang tinggal bersama bapanya jauh lebih baik hidupnya? Ternyata hatinya penuh dengan iri hati melihat perlakuan bapanya terhadap adiknya (ay. 28-30). Terbukti bahwa tidak ada seorang pun benar karena semua orang telah berbuat dosa (Rm. 3:10,23).

Bagaimana kedudukan kita sebagai anak terhadap Bapa Surgawi menurut surat Efesus 2?

  • Kita dahulu mati karena pelanggaran dan dosa serta hidup menuruti kehendak daging dan pikiran yang jahat

Bila bapa dari si bungsu dapat berbelas kasihan terhadap anaknya yang durhaka terlebih Bapa yang di Surga. Ia begitu mengasihi manusia dan telah mem-persiapkan semua kebutuhan dan fasilitas sebelum menciptakan mereka. Ia memperbolehkan mereka makan semua buah dengan bebas kecuali buah pengetahuan baik dan jahat (Kej. 2:16-17). Sayang, Adam-Hawa lebih mengikuti kehendak daging dan pikiran mereka karena rayuan si ular. Akibatnya, mereka menjadi durhaka dan diusir dari Taman Eden. Bagaimanapun juga Allah tetap mengasihi mereka, buktinya Ia membuat pakaian dari kulit binatang untuk menutupi ketelanjangan mereka (Kej. 3:21). Mereka diusir dari Taman Eden agar tidak memakan buah kehidupan yang dapat menyebabkan mereka mati kekal dalam dosa.

Bagaimana keadaan Adam-Hawa yang jauh dari Bapa? Apakah makin jauh dari-Nya makin baik? Apakah di luar Bapa ada penyelesaian? Ternyata kejatuhan mereka makin dalam, mereka melampiaskan nafsu daging dan pikiran jahat. Terbukti segala kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata (Kej. 6:5).

Melihat kejahatan mereka, Bapa menyesal dan bermaksud menghapuskan manusia dari muka bumi tetapi Nuh beroleh kasih karunia dari-Nya (ay. 6-8). Nuh dipakai Allah untuk memberitakan kebenaran (2 Ptr. 2:5) tetapi orang-orang di zaman itu tidak mau bertobat berakhir dengan kebinasaan oleh air bah kecuali Nuh sekeluarga (Kej. 7:23).

Dari zaman ke zaman manusia yang sudah berbuat dosa terus menerus meng-ulangi perbuatan dosa (hidup dalam dosa; Ef. 2:1-2) seperti telah terjadi di zaman Nuh, mereka makan minum dan kawin mengawinkan (Luk. 17:26-30).

Sebenarnya Allah sudah tahu bahwa manusia akan mendurhaka tetapi Ia tetap mengasihi mereka dan mencari solusi untuk menyelamatkannya.

  • Allah kaya akan rahmat/belas kasihan dan dasarnya karena Ia mengasihi kitatraffic light, timbul belas kasihan kita lalu kita memberi sedekah kepadanya setelah itu melupakannya tetapi kalau didasari kasih kita akan memikirkan kelanjutan hidupnya.

Bapa Surgawi tidak hanya menolong manusia jahat dan terhilang tetapi Ia juga menyediakan tempat di Surga di mana Ia tinggal. Dengan kata lain, Ia mau tinggal bersama kita.

Seberapa besar kasih Allah kepada kita? Ia melihat manusia akan dibinasakan oleh api belerang akibat upah dosa (Why. 20:15). Ia menemukan solusi yang sangat berat bagi-Nya tetapi ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia. Ia melihat Anak-Nya, Yesus, yang selalu dekat dan tidak pernah berpisah dengan-Nya sejak Ia menciptakan dunia. Yesus senantiasa menyenangkan hati Bapa dan ini membuat hati Bapa bahagia (Am. 8:22-30). Di satu sisi, Bapa begitu mengasihi Putra Tunggal-Nya dan bermaksud melindungi-Nya tetapi di sisi lain Ia melihat realita Anak-Nya juga senang bermain dengan anak-anak manusia (ay. 31). Di sinilah Bapa memutuskan bagaimana menolong manusia yang berada di bawah ancam murka-Nya. Ia kemudian menyerahkan Anak-Nya atas kehendak sendiri menanggung hukuman Allah (Yoh. 3:16). Ia tahu Anak-Nya akan hancur dan seluruh tubuh-Nya remuk. Memang secara fisik penderitaan yang harus ditanggung-Nya sangat menyakitkan tetapi setelah semuanya selesai Ia akan melihat keturunan-Nya berumur lanjut berarti ada pengharapan (Yes. 53:10). Yesus, Orang benar, diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan untuk pembenaran kita (Rm. 4:25). Melalui kematian-Nya, dosa dihancurkan dan kita beralih kepada terang (Yes. 53:11-12). Dengan demikian, kita tidak lagi ada cacat cela di hadapan Bapa sebab Ia tidak melihat Tabut (gereja) tetapi Tutup Pen-damaian (Yesus).

Bila Bapa begitu bahagia melihat Anak-Nya dekat dengan-Nya dan Yesus bahagia dekat dengan manusia, apakah kita bahagia saat dekat dengan Bapa dengan senang mendengarkan suara Firman-Nya, rajin beribadah dan suka berdoa/berko-munikasi dengan-Nya?

Sungguh, Yesus menyenangkan hati Bapa karena menaati seluruh perintah-Nya. Ia menjadi Hamba/Doulos yang hanya mempunyai kewajiban tanpa memiliki hak sama sekali bahkan rela mati disalib (Flp. 2:6-8). Ia menjadi teladan sempurna dalam hal kerendahan hati. Dalam ketaatan-Nya, Ia (sebagai Manusia) menderita kesakitan luar biasa hingga mati demi menanggung kutukan dosa kita tetapi pada hari ketiga Ia bangkit mengalahkan semua penguasa di udara dan maut. Terbukti kematian-Nya bukanlah suatu kekalahan, justru memproklamasikan kemenangan-Nya.

Aplikasi: kita yang dahulu bagaikan anak durhaka jauh dari Bapa hendaknya mempunyai pikiran dan perasaan seperti Yesus (Flp. 2:5) setelah dihidupkan oleh-Nya; juga taat untuk menyenangkan Bapa.

Rasul Yohanes saat diasingkan di Pulau Patmos diliputi kebahagiaan dapat menulis pengalaman pribadi bersama Tuhan. Ia berbahagia saat melakukan Firman Tuhan bukan hanya mendengarkannya (Why. 1:2-3).

Harus diakui, saat kita mempraktikkan Firman Tuhan, ‘daging’ berteriak-teriak kesakitan dan memberontak (merasa banyak larangan: tidak boleh bohong, korupsi, selingkuh dll.). Namun jangan berhenti di situ tetapi lihatlah lebih jauh akan kebahagiaan sebagai hasil perolehannya. Ingat, hari kedatangan Tuhan sudah semakin dekat, kalaupun kita ‘sakit’ luar biasa dalam melakukan Firman Tuhan, penderitaan yang kita alami tidak lama sebab Ia segera datang membawa upah dan menyediakan tempat bagi kita untuk beroleh kebahagiaan kekal bersama-Nya. Oleh sebab itu siapa yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan? Penganiayaan? Kelaparan? Ketelanjangan? Pedang? Kita lebih dari pemenang oleh Dia yang mengasihi kita (Rm. 8:35-37).

Yakinlah bahwa Yesus mati tetapi Ia bangkit dan kita dibangkitkan bersama-Nya. Jika tidak, kita manusia paling malang di dunia (1 Kor 15:13-22, 29). Kematian dan kebangkitan digambarkan kiasannya dalam Baptisan Air yang mana baptisan bukan untuk membersihkan kotoran jasmani tetapi memohonkan hati nurani yang baik (1 Ptr. 3:21).

Hanya melalui ‘kematian’ hingga daging tidak bersuara dan ketaatan akan Firman Tuhan, kita dibenarkan, disucikan dan hidup dalam pembaruan dari hari ke hari. Setelah itu kita menikmati suasana Surga walau sekarang masih hidup di bumi.

Perolehan hati nurani yang baik menghasilkan kerendahan hati sejati karena Firman Tuhan sudah menjadi bagian dari hidup kita. Namun perlu diwaspadai, jangan kemenangan kita digagalkan oleh orang-orang yang pura-pura rendah hati dan beribadah kepada malaikat serta berkanjang pada penglihatan dan tanpa alasan membesarkan diri oleh pikiran duniawi serta menaklukkan diri pada rupa-rupa peraturan (Kol. 2:18-23). Memang peraturan gereja perlu untuk ketertiban tetapi tidak boleh melebihi Firman Tuhan; bila kita taat kepada Bapa, kita pasti taat pada pemerintah dan peraturan. Kita juga tidak boleh menyanjung malaikat/gembala sidang manusia (Why. 2:1).

Bagaimana menghindari kepura-puraan dalam kerendahan hati? Kita yang sudah dibangkitkan bersama dengan Kristus harus mencari perkara di atas di mana Kristus ada juga memikirkan perkara yang di atas (Kol. 3:1-3).

Aplikasi: hendaknya kita melatih diri dalam beribadah (1 Tim. 4:7-8) dan suka membaca Firman Tuhan untuk satu kali mengalami kebahagiaan bersama Dia selamanya. Bila kita dekat dengan-Nya, kita tidak mudah tertipu dengan orang yang pandai berpura-pura tetapi tidak menuruti Firman.

  • Karenakasih karuniakitadiselamatkan oleh iman, bukan hasil usaha atau pekerjaan kita sendiri (Ef. 2:8-10). Jelas, kita tidak ada andil sedikitpun dalam keselamatan. Bila kita menjadi lebih dari pemenang dengan bangkit dari kematian, ini semua karena rahmat Allah dengan dasar kasih.

Sungguh bahagia tak terkatakan bila kita mau menjadi pelaku Firman Tuhan, kita tidak hanya mati dari pelanggaran dan dosa tetapi bangkit/hidup penuh rendah hati (karena hati nurani sudah dibersihkan) sehingga tidak ada kebanggaan/kesombongan sedikitpun dalam diri kita sebab kita menyadari segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Rm. 11:36). Amin.