Kita Bukan Lagi Orang Asing Dan Pendatang Tetapi Rumah Allah Yang Hidup

Pdt. Paulus Budiono, Minggu, Lemah Putro, 29 April 2018

 

Shalom,

Sudahkah kita mengenal sesama anggota jemaat meskipun kita beribadah dalam satu gereja? Dalam lingkup lebih kecil, sudahkah kita mengenal suami/istri kita dengan siapa kita hidup bersama sepanjang hidup? Apakah makin kita mengenal pasangan hidup kita, makin banyak omelan dan pertengkaran terjadi atau kita dapat saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing?

Bagaimana pengenalan kita terhadap Allah, Tuhan kita? Efesus 2:19 menuliskan, “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah (members of the household of God = anggota rumah tangga Allah),”

Ternyata pengenalan kita (bangsa kafir) akan Allah di dalam Yesus Kristus menjadikan:

Kita (bangsa kafir) dahulu tidak mempunyai Allah (yang hidup) tetapi menyembah banyak allah/berhala. Masing-masing bangsa dan suku/etnis mempunyai allahnya sendiri seperti dikatakan oleh Rasul Paulus ketika dia berada di Atena dan sedih menyaksikan kota itu penuh patung-patung berhala dan penduduknya beribadah kepada dewa-dewa dan allah yang tidak dikenal (Kis. 17:16,22-23).

Tak dapat disangkal, untuk berbalik kepada Allah yang hidup tidaklah mudah karena budaya, adat istiadat dan kebiasaan lama yang diwarnai dengan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang begitu melekat dalam hidup kita.

Untuk diakui ‘bukan lagi orang asing’ di hadapan Tuhan diperlukan proses saling mengenal yang mengalami progres. Ilustrasi: seorang pria yang tertarik pada seorang wanita diawali dengan tidak saling mengenal (asing satu sama lain). Tidak mungkin dalam perjumpaan pertama si pria langsung melamar si wanita untuk dijadikan istrinya. Tahap demi tahap per-kenalan dilakukan dan makin lama makin intens hingga si pria merasa sudah mengenal serta ada kecocokan baru dia mengutarakan isi hatinya dan ingin meminang si wanita untuk menjadi pasangan hidupnya.

Apakah dalam proses pendekatan untuk lebih mengenal satu sama lain berjalan mulus tanpa rintangan sama sekali? Latar belakang budaya, pendidikan, etnis, agama, hobi dll. yang berbeda dapat menjadi penghambat hubungan perkenalan yang makin intim. Demikian pula dalam kehidupan nikah, masalah demi masalah yang dihadapi pasangan suami-istri seharusnya membuat pengenalan satu sama lain makin mengikat bukan makin pecah/cerai.

Apakah pengenalan kita kepada Tuhan juga mengalami rintangan? Ejekan dan cemooh bahkan pengucilan dapat terjadi dalam pengikutan kita kepada-Nya.

Tidak ada seorang pun pernah melihat wajah Allah sebab dia akan mati. Musa sendiri hanya dapat melihat bagian belakang-Nya tetapi wajah-Nya tidak kelihatan (Kl. 33:20-23). Kalau begitu bagaimana kita mengenal Allah yang tidak pernah kita lihat kasatmata? Yohanes 1: 14, 17-18 menuliskan, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam/bertabernakel di antara kita dan kita telah melihat kemuliaan-Nya yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak tunggal Bapa penuh kasih karunia dan kebenaran… sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Tidak seorang pun pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Anak Tunggal Bapa (Yesus) adalah cahaya kemulia-an Allah dan gambar wujud-Nya (Ibr. 1:3).

Kita bukan orang asing lagi sebab kita dibawa mendekat kepada Bapa oleh Anak-Nya. Siapa mengenal Bapa Surgawi dengan baik? Anak-Nya – Sang Firman. Jelas sekarang, kita me-ngenal Allah yang esa melalui Yesus di dalam Firman-Nya.

Seorang pendatang tidak menetap secara permanen di suatu tempat. Misal: pegawai bagian sales/penjualan atau marketing/pemasaran harus berkeliling dari satu kota ke kota lainnya; bila malam tiba mereka berhenti untuk istirahat di tempat penginapan (sebagai transit) sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Mereka tidak menetap permanen di tempat penginapan tersebut.

Kita dahulu seorang pendatang dengan jiwa tidak menetap alias mengembara. Seorang pengembara hidupnya tidak tenang dan aman karena adanya ‘ancaman’ direndahkan, diintimidasi, tidak diterima dengan baik bahkan diusir dll. berdampak jiwanya menderita. Itu sebabnya Tuhan menginginkan kita menjadi penghuni tetap di dalam rumah Bapa (Yoh. 8:34-36).

Alkitab memberikan contoh seorang pengembara pertama yang jiwanya tidak tenang itulah Kain. Kain juga menjadi pembunuh pertama dengan membunuh adiknya, Habel, karena iri hati persembahannya tidak berkenan di hadapan Allah. Allah mengetahui hati Kain yang panas dan mengingatkannya jika dia berbuat tidak baik dosa sudah mengintip dan siap menjatuhkannya namun dia harus dapat menguasainya. Ternyata Kain menolak peringatan Allah dan terjadilah pembunuhan. Apa sanksinya? Allah mengatakan, “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah. Maka sekarang ter-kutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu. Apabila engkau mengusahakan tanah itu maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi." (Kej. 4:10-12)

Apa jawab Kain? “…Hukumanku itu lebih besar daripada yang dapat kutanggung. Engkau menghalau aku sekarang dari tanah ini dan aku akan tersembunyi dari hadapan-Mu, seorang pelarian dan pengembara di bumi; maka barangsiapa yang akan bertemu dengan aku tentulah akan membunuh aku." (ay. 13-14)

Akibat kebencian karena iri hati berlanjut pada pembunuhan, Kain menjadi seorang pelarian dan pengembara yang mana dia tersembunyi/tidak bertemu Allah dan jiwanya tidak tenang karena terancam dibunuh. Jiwanya yang terus mengembara pasti memengaruhi kehidupan nikahnya.

Aplikasi: jangan menolak Firman Tuhan betapapun keras teguran-Nya; semua ini demi kebaikan kita. Jangan pula memupuk sifat iri hati dan benci sebab siapa membenci sau-daranya dia adalah seorang pembunuh (1 Yoh. 3:15). Waspada, tabiat benci dimiliki oleh Iblis karena dia adalah pembunuh manusia sejak semula (Yoh. 8:44). Lebih mengerikan lagi, hati yang penuh dengan kebencian dan iri hati membuat seseorang tidak dapat bertemu dengan Tuhan meskipun puluhan tahun pergi ke gereja. Hentikan permusuhan karena kebencian (terlebih antara suami-istri) dan datanglah kepada Yesus yang mem-berikan pendamaian melalui penumpahan darah-Nya!

Setiap negara mempunyai bentuk pemerintahan (republik, kerajaan, monarki dll.) dan warga negara yang hidup di dalamnya. Kita yang berdomisili di Indonesia berkewargaan Indonesia dan mempunyai presiden bernama Bpk. Jokowi Widodo. Sebagai warga Indonesia yang baik, kita harus berdoa bagi kepala pemerintahan d.h.i. presiden terlebih di era politik yang lagi memanas ini. Mazmur 33:12 menuliskan, “Berbahagialah bangsa yang Allahnya ialah TUHAN (=Yehovah), suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri!

Betapa bahagianya Indonesia bila Allahnya ialah Yahwe dan suku bangsa Indonesia yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri! Siapa Tuhan yang kita sembah di negara Indonesia ini? Allah Tritunggal – Allah (Sang Pencipta), Yesus (Sang Firman) dan Roh Kudus.

Beberapa ayat dalam Perjanjian Lama menyebutkan bahwa Allah adalah Raja (Mzm. 47:8); TUHAN adalah Raja (Mzm. 93:1; Yes. 33:22; Yer. 10:10; Za. 14:9) sementara dalam Per-janjian Baru kita mengetahui Yesus adalah Raja atas segala raja, Tuan di atas segala tuan (1 Tim. 6:14-15; Why. 17:14).

Marilah kita terus berdoa untuk persatuan negara dan bangsa kita, Indonesia, dan menyembah hanya kepada Allah yang Esa di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Ada negara pasti ada rumah untuk tempat tinggal para warga negara itu. Pemilik rumah berhak mengatur penempatan isi/perabot rumah maupun fungsinya dan keluarga yang mendiami rumah tahu betul seluk beluk rumah tersebut.

Rumah Allah bukanlah bangunan gereja secara fisik tetapi kita dibangun menjadi bait Allah yang kudus dan menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh (Ef. 2:21-22).

Memang kita mempunyai rumah (fisik) yang dibangun menurut selera kita tetapi rumah Allah hanya satu. Gedung gereja boleh banyak dan liturginya bermacam-macam tetapi cuma hanya ada satu Tuhan yang disembah.

Di era Musa, Tabernakel dibangun karena Allah mau berdiam di tengah-tengah umat-Nya (Kel. 25:8-9). Tabernakel terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Sudahkah kita menjadi tabernakel Allah yang hidup dan dapat disaksikan oleh orang-orang di sekitar kita? Dalam kita ada Firman Tuhan dan kehidupan doa kita tercium harum keluar melalui tutur kata kita.

Kita menjadi rumah doa bukan rumah perkelahian dan Roh Kudus diam di dalam kita. Setiap rumah rohani harus memiliki ciri yang sama. Rumah Tuhan bukan untuk berjual beli, ibadah bukan untuk mencari keuntungan seperti peristiwa 5.000 orang yang diberi makan oleh Yesus lalu keesokan harinya orang datang berbondong-bondong kepada-Nya bukan untuk mencari Dia tetapi karena mendapat roti dan kenyang (Yoh. 6:10-13, 22,26).

Jangan pula takut rugi untuk beroleh Firman Tuhan seperti kisah Yesus mengusir setan legion dan 2000 ekor babi mati terjun ke dalam danau. Orang yang kerasukan setan menjadi sadar dan ingin mengikut Yesus sementara pemilik babi menderita rugi besar dan meminta Ia meninggalkan tempat mereka (Luk. 8:26-37). Mereka lebih mencintai uangnya ketimbang menerima Yesus.

Apakah kita menjadi orang Kristen model seperti ini? Hendaknya kita mengikut Yesus tanpa diembeli motif keuntungan jasmani tetapi ikutlah dengan sepenuh hati. Jadikan Yesus Tuan dalam tabernakel hidup kita dan ketika orang-orang datang kepada kita, mereka melihat suasana pendamaian ada dalam kita (masuk Pelataran ada Mazbah Kurban Bakaran). Bagaimana mungkin orang yang belum/tidak mengenal Tuhan dapat percaya kepada-Nya jika melihat kita yang mengaku anak Tuhan suka berkelahi?

Kita dibangun menjadi bait Allah dan Roh Kudus berdiam di dalam kita (Ef. 2:20-22). Kita menjadi rumah doa yang mengeluarkan ‘bau harum’ dari dupa penyembahan yang kita panjatkan. Roh Kudus membantu kita dalam kelemahan kita sebab kita tidak tahu bagai-mana harus berdoa; Roh Kudus berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tak terucapkan (Rm. 8:26). Roh Kudus menolong kita karena pada dasarnya kita mempunyai roh pemberontak, roh malas dll.

Yesus sebagai Anak sangat mengenal rumah Bapa-Nya. Buktinya, ketika berumur 12 tahun, Ia ikut orang tuanya ke Yerusalem merayakan Paskah. Sehabis perayaan, mereka pulang tetapi Yesus tetap di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. Setelah sehari perjalanan baru orang tua-Nya mencari Dia tetapi tidak menemukan-Nya kemudian mereka balik ke Yerusalem dan menemukan Yesus sedang duduk di tengah-tengah alim ulama mendengar-kan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Semua yang men-dengarkan Dia heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawaban yang diberikan-Nya. Ibu-Nya bertanya kepada-Nya, “Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Apa jawab Yesus? “Mengapa kamu mencaari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:42-49)

Umur 12 tahun, Yesus sudah memikirkan Bapa di Surga dan melihat kondisi rumah Allah. Ia memerhatikan apakah Mazbah Kurban Bakaran berfungsi dengan baik juga melihat kurban sembelihan yang dikurbankan di hari Paskah itu.

Umur 30 tahun, menjelang Paskah Dia ke Yerusalem dan bertindak menyucikan Bait Allah yang disalahfungsikan. Apa yang dilakukan-Nya? Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir pedagang-pedagang lembu, kambing, domba, merpati dan penukar-penukar uang sambil mengatakan, “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” (Yoh. 2:13-16) sementara Matius 21:13 menuliskan, “…Rumah-ku akan disebut rumah doa tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Kita harus bertumbuh tidak berhenti hanya memikirkan Rumah Bapa kemudian menyerah-kan semua masalah kepada Hamba Tuhan sementara kita berada di belakang tidak berani bertindak jika terjadi kesalahan di dalam rumah-Nya.

Marilah kita bertumbuh dalam pengenalan kita kepada Bapa di dalam Yesus Kristus. Kenali diri sendiri lebih dahulu, jangan menjadi pengembara yang suka ‘jajan makanan’ di luar tanpa memeriksa apakah makanan itu sehat atau tidak. Jauh lebih baik makan Roti Kehidupan yang terdapat di rumah (Allah) yang menyehatkan ketimbang makanan ‘junk food’ berisikan filosofi manusia. Firman Allah itulah makanan sesungguhnya, tidak perlu ditambahi dengan ‘bumbu-bumbu penyedap rasa’ untuk membuat laris dikonsumsi tanpa memedulikan side effect bagi kesehatan rohani pendengar.

Juga jadilah Rumah Allah yang berfungsi dengan baik, menjadi tempat terjadinya pendamaian, penuh dengan Firman Tuhan dan menebarkan bau harum tutur kata yang membangun oleh sebab Roh Kudus berdiam di dalam kita. Amin.