Rendah Hati, Lemah Lembut Dan Sabar Berdampak Kesatuan

Pdt. Paulus Budiono, Johor, Minggu, 15 Juli 2018

Shalom,

Sudahkah kita hidup dengan iman tanpa melihat? Bukankah iman timbul karena men-dengar Firman Allah (Rm. 10:17)?

Apa itu iman? Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1).

Ketika kita melihat sesuatu, respons kita ialah:

- Kita senang karena melihat sesuatu karena sesuai dengan harapan kita atau

- Kita kecewa, jengkel bahkan gusar melihat sesuatu/seseorang yang tidak sesuai dengan kehendak hati kita.

Hendaknya kita kembali belajar dari apa yang tertulis dalam Alkitab – Firman Allah yang hidup. Melalui Firman, kita melihat (dengan iman) Yesus dengan perbuatan tangan-Nya maupun perjalanan (kaki) hidup-Nya. Melalui Firman pula, Rasul Paulus memberikan nasihat kepada kita, “…supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling mem-bantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” (Ef. 4:1-6)

Dalam satu tubuh, hendaklah kita tetap rendah hati tidak sombong. Berbicara mengenai tubuh, kita semua memiliki tubuh dan kita menginginkan semua anggota tubuh bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan tubuh itu sendiri. Berapa lama tubuh ini bertumbuh dan sampai kapan anggota tubuh saling melayani?

Kapan tangan rendah hati terhadap kaki dan menolongnya, kaki rendah hati terhadap telinga, telinga rendah hati terhadap mata, dst. Dan berapa lama anggota-anggota tubuh ini saling rendah hati? Apakah tangan yang berposisi lebih tinggi dari kaki dan dihias dengan cincin berlian malas menolong kaki yang degil tertutup debu dan kotoran?

Rasul Paulus menasihati agar kita selalu (bukan sewaktu-waktu) rendah hati; berarti selama tubuh ini masih hidup, selama itu pula anggota-anggota tubuh harus memiliki rendah hati. Bukankah anggota-anggota tubuh terletak di dalam tubuh itu sendiri? Jujur, jauh lebih mudah rendah hati menghadapi orang luar yang tidak dikenal ketimbang menghadapi orang-orang (suami, istri, anak, saudara, teman) yang dekat dengan kita. Akibatnya, kesatuan tubuh tidak terwujud karena kita masih melihat anggota-anggota tubuh lain yang sering bertindak tidak menyenangkan bagi kita. Misal: gembala tidak selalu dapat menyenangkan jemaat; ada pula jemaat yang tidak senang dengan penatua dst. Masihkah kita dapat rendah hati terhadap anggota tubuh yang suka membuat kekacauan (a trouble maker)?

Tubuh nafsani ada masanya untuk suatu saat mati tetapi anggota tubuh Kristus hidup selamanya. Untuk itu kita tidak mempunyai alasan untuk membatasi sikap rendah hati, lemah lembut dan sabar karena merasa sudah cukup melakukannya.

Apa yang Yesus katakan mengenai tubuh-Nya, “Rombak Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” (Yoh. 2:19) Orang-orang Yahudi mencibir, “Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat mem-bangunnya dalam tiga hari?” (ay. 20)

Para murid juga tidak percaya, baru setelah Yesus bangkit mereka percaya akan Kitab Suci dan akan perkataan yang diucapkan-Nya.

Jelas, tubuh Kristus dibangun oleh karena kurban-Nya. Masihkah kita bermain-main saat Perjamuan Tuhan? Padahal Yesus mengatakan, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh. 6:54) Dengan kata lain, tubuh kita tidak hilang maka kesabaran dan kelemahlembutan juga tidak ada batasnya.

Alkitab memberi contoh sikap rendah hati/lembut hati yang dimiliki oleh Musa. Dikatakan Musa adalah seorang yang lembut hati (very humble = rendah hati) lebih dari setiap manusia di atas bumi (Bil. 12:1-3).

Bagaimanapun juga jangan kerendahan hati Musa dijadikan tolok ukur. Mengapa? Bilangan 20:5-12 menuliskan, “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir untuk membawa kami ke tempat celaka ini yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minum pun tidak ada?" Maka pergilah Musa dan Harun dari umat itu ke pintu Kemah Pertemuan lalu sujud. Kemudian tampaklah kemuliaan TUHAN kepada mereka. TUHAN berfirman kepada Musa: "Ambillah tong-katmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya." Lalu Musa mengambil tongkat itu dari hadapan TUHAN seperti yang diperintahkan-Nya kepadanya. Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: "Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?" Sesudah itu Musa mengangkat tangannya lalu memu-kul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali maka keluarlah banyak air sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum. Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: "Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka."

Musa telah berkali-kali bersikap rendah hati menghadapi bangsa Israel yang suka bersungut-sungut namun pada akhirnya dia tidak tahan lagi. Dia sangat marah terlihat dari kata-kata yang diucapkannya (‘orang durhaka) lalu memukul bukit batu padahal Allah menyuruh dia cukup dengan berkata kepada bukit batu tersebut. Memang Musa melakukan perintah Allah (membawa tongkat) tetapi melanggar perintah lainnya (memukul bukan berkata kepada bukit batu). Ini sama dengan tidak melakukan Firman-Nya.

Introspeksi: sudahkan kita melakukan Firman Tuhan sepenuhnya? Atau masih me-langgar sedikit-sedikit? Ini sama dengan tidak melakukan Firman-Nya.

Kita harus beriman kepada Dia dan jangan mengultuskan manusia betapapun hebatnya dia. Kita tidak dapat melihat Allah maupun Roh Kudus secara kasatmata tetapi semua ada di dalam pribadi Yesus – Sang Firman. Alkitab memberikan contoh tokoh-tokoh yang luar biasa (Yusuf, Musa, Daud, Salomo, dll.) dan banyak orang mengambil kesuksesan dari mereka tanpa melihat keutuhannya. Bagaimanapun juga, mereka masih ditandai dengan kelemahan; contoh sempurna hanya ada di dalam pribadi Yesus.

Bagaimana kita dapat bersikap rendah hati penuh kelemahlembutan? Yesus memberi-kannya kepada kita saat Roh Kudus turun. Masalahnya, apakah kita mau mengikuti teladan Allah yang sabar atau kita mencontoh kesabaran menurut filosofi dunia?

Kita harus beriman kepada Yesus Kristus dan belajar dari-Nya. Apa yang dikatakan-Nya? “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan mem-beri kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat kete-nangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat. 11:28-30)

Jangan kita kagum melihat seseorang yang rendah hati karena rendah hatinya orang Jawa berbeda dengan rendah hatinya orang Batak; rendah hatinya orang Tionghoa juga berbeda dengan dan rendah hatinya orang Ambon dst. Hanya ada satu keren-dahan hati bersifat universal yang terdapat di dalam Yesus Kristus.

Jika kita adalah anggota tubuh Kristus, kita memiliki sifat-Nya dan akan memerhatikan satu sama lain. Dimulai dari lingkup paling kecil itulah kehidupan nikah suami-istri. Suami harus mengasihi istri sama seperti mengasihi tubuhnya sendiri sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuh dan merawatnya (Ef. 5:28-29).

Bukankah tubuh kita adalah bait-Nya, untuk siapa kita berdandan? Istri/pengantin perempuan berdandan untuk suaminya (Why. 21:2). Gereja adalah mempelai Tuhan; jadi, sudah selayaknya kita menjaga dan mendandani tubuh (fisik dan rohani) demi Suami Surgawi bukan untuk mencari popularitas diri sendiri.

Kasih mengandung kesabaran. Misal: saat kaki kita terluka, kita akan merawat dengan sabar hingga sembuh sebab kita mengasihi kaki yang luka ini. Demikian pula bila kita mengasihi sesama anggota Tubuh Kristus, kita akan memiliki kesabaran dalam mem-perlakukan mereka.

Alkitab menunjukkan bahwa kesabaran itu penting (meskipun tidak mudah dilakukan). Apa keuntungannya bersifat sabar? Rasul Paulus mengingatkan Timotius muda, “Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni. Hindarilah soal-soal yang dicari-cari, yang bodoh dan tidak layak. Engkau tahu bahwa soal-soal itu menimbulkan pertengkaran sedangkan seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran dan dengan demikian mereka menjadi sadar kembali karena terlepas dari jerat Iblis yang telah mengikat mereka pada kehendaknya.” (2 Tim. 2:22-26)

Kita harus sabar menghadapi siapa pun, bukan sabar hanya terhadap orang yang kita senangi. Jangan kita membiasakan diri membeda-bedakan anggota tubuh!

Salah satu hasil dari kesabaran ialah membuat orang sadar bahwa dia telah terikat oleh kehendak Iblis dan berkeputusan keluar dari jeratnya. Kalau kita tidak sabar, kita tidak membuat seseorang sadar. Diperlukan kesabaran untuk menolong orang-orang yang belum/tidak mengenal Tuhan. Bahkan menolong mereka yang sudah mengenal Tuhan tetapi berkepala batu pun tidak gampang. Itu sebabnya Yesus tidak ‘main pukul’ tetapi Dia sabar hingga mati disalib demi keselamatan manusia. Dia sabar sampai titik terakhir.

Tuhan mengajar kita untuk hidup berpadanan dengan panggilan. Ia memanggil kita justru saat kita dalam kondisi mati karena dosa lalu membangkitkan/menghidupkan kita (Ef. 2:1-6) menjadi satu tubuh dengan orang-orang Yahudi (Ef. 3:6). Kita diminta untuk hidup berpadanan dengan panggilan (Ef. 4:1). Untuk itu kita harus selalu rendah hati, lemah lembut dan sabar karena di dalam sifat-sifat itu tersimpan hasil yang luar biasa. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika kita tidak pernah rendah hati karena mempertahankan prinsip dan harga diri?

Alkitab mengajarkan agar kita selalu rendah hati, lemah lembut dan sabar berarti sifat-sifat ini berlaku di setiap waktu dan pada setiap masalah/peristiwa. Peristiwa dalam rumah tangga, pekerjaan, pelayanan dapat muncul setiap saat (pagi-siang-malam), di kala senang maupun duka. Yang penting kita harus siap rendah hati dan sabar menghadapinya supaya anggota tubuh tidak terpecah belah. Dengan demikian Nama Tuhan dipermuliakan. Amin.