• ANDA MEMINTA ALLAH MEMBERI
  • https://www.gkga-sby.org/mobile/index.php/artikel/905-anda-meminta-allah-memberi

Ada tiga kata kerja berbeda yang digunakan dalam Injil Matius 7:7-10, yakni: mintalah, carilah, ketoklah dengan respons berbeda pula: diberi, mendapat, dibukakan namun inti pengajaran di sini ialah tentang “meminta kepada Allah” sebab kata “minta” muncul dalam setiap ayat sementara “carilah”, ketoklah”, “mendapatkan”, “dibukakan” merupakan perkembangan ide untuk menekankan ketidaksia-siaan meminta kepada Tuhan sebab Ia pasti merespons.

Apakah ini berarti setiap permintaan kita pasti dikabulkan? Tidak! Karena jika demikian berarti Allah tidak lebih sebagai pelayan yang patuh melayani dan menaati semua kemauan kita. Banyak orang berpikir betapa senangnya memiliki Allah yang selalu menjawab “ya” atas apa saja yang kita minta. Benarkah demikian? Sama sekali tidak!

Apa yang hendak Tuhan ajarkan berkaitan dengan “pemberian baik” yang muncul dua kali di ayat 11 – satu dari bapa (jasmani) yang jahat dan satu lagi dari Allah Bapa? Yesus bahkan memberikan contoh konkrit tentang anak yang meminta roti dan ikan. Jelas ini bukan permintaan yang salah dan buruk. Persoalan menjadi lain jika si anak meminta batu atau ular berbisa untuk dimakan. Hanya bapa yang tidak waras yang akan mengabulkan permintaan tersebut.

Yang menjadi persoalan terbesar ialah “baik” menurut pemohon tidaklah selalu selaras dengan pemberi. Bahkan ketidakselarasan ini lebih sering terjadi daripada keselarasan. Dari gambaran yang sudah Tuhan gunakan berkaitan dengan hubungan orang tua-anak dalam hal minta-meminta, ada lima jenis hubungan orang tua-anak tetapi kita membahas empat jenis terlebih dahulu, yaitu:

  • Orang tua permisif – anak dijadikan majikan orang tua sebagai pelayan. Apa saja yang anaknya minta tidak pernah Orang tua seperti ini merusak anaknya sebab dia tidak dapat membedakan yang baik/bermanfaat dan yang buruk/merugikan bagi anaknya.
  • Orang tua yang sangat jahat. Dalam perbendaharaannya yang ada cuma tersimpan segala yang buruk. Tidak peduli apa pun yang diminta anaknya, ia hanya memberi yang jahat kepadanya.
  • Orang tua yang membingungkan, norma baik-buruk tidak jelas, semua diputar balik – yang baik jadi jahat yang jahat jadi baik. Anak kelak tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.
  • Orang tua yang selalu hanya memberi yang baik kepada anaknya. Saat permintaan anak tidak baik, dia tetap memberikan yang baik sekalipun si anak tidak merasa baik baginya. Hal ini dapat menimbulkan kebencian pada diri anak sebab orang tua dianggap memaksakan kehendak sendiri.

Dari sudut pandang anak, orang tua permisif (no. 1) dianggap paling baik sementara dari bagi orang tua, justru orang tua nomor 4 yang baik. Mengapa penilaian kita bertolak belakang?

Ada beberapa sebab yang akan dikemukakan di sini:

  • Senang versus baik (manfaat)

Seorang anak memakai kesenangan sebagai kriteria baik tidaknya sesuatu. Semua yang menghibur dan menyenangkan baginya itu pasti baik seperti: menonton, jalan-jalan, main dengan teman dst. sedangkan bagi orang tua banyak hal yang baik justru tidak menyenangkan, misal: belajar itu baik tetapi tidak menyenangkan, suntikan imunisasi itu sangat baik tetapi sangat tidak menyenangkan bahkan menyakitkan.

Akhir-akhir ini banyak usaha dilakukan untuk mengikuti selera anak: belajar dibuat suasana bermain, obat dibuat rasa permen. Sebenarnya tidak semua harus mengikuti selera si anak karena hidupnya akan menjadi ‘lembek’ dan orientasi hidupnya adalah bermain.

  • Sekarang versus nanti

Bagi seorang anak, yang baik itu tidak hanya menyenangkan tetapi juga harus instan segera dapat dinikmati dan seketika itu juga dapat dirasakan enaknya. Sebaliknya, orang tua melihat jauh ke depan bahwa hidup tidak cuma untuk hari ini. Yang baik harus disiapkan, diperjuangkan sekarang dan enaknya baru dirasakan nanti. Itu sebabnya orang tua sering memberi janji dari perspektif masa depan, “Ini baik untukmu nanti, percayalah!” mereka menjadi marah ketika anak tidak mau mendengar nasihatnya, “Besok kalau sudah besar mau jadi apa?”

  • Singkat versus panjang

Bagi anak, kesenangan singkat dan sementara itu yang dicarinya. Sedangkan yang baik menurut orang tua bukanlah hal-hal yang hanya menyenangkan di masa sekarang yang mungkin akan mengakibatkan kesengsaraan dan penyesalan seumur hidup. Terbukti setelah menjadi tua, kita menyesali banyak hal di masa lalu karena kita tidak menggunakannya dengan baik. Kalau boleh diulang kita pasti akan mengubah hidup kita.

Perbedaan radikal ini sering tidak terseberangi maka tidak heran jika orang tua dan anak selalu berbenturan dalam menilai baik atau buruknya sesuatu. Akibatnya, banyak orang tua mengeluh tentang kekeraskepalaan dan kebodohan anaknya saat diberi hal yang baik oleh orang tua.

Pemahaman perbedaan ini menolong kita mengevaluasi hubungan kita sendiri dengan Tuhan ketika kita memosisikan diri sebagai ‘anak’ dan Tuhan sebagai ‘Bapa’. Apakah perbedaan-perbedaan radikal dalam menilai sesuatu itu baik atau buruk antara kita dengan anak kita juga berlaku dalam hubungan kita dengan Bapa Surgawi? Tidakkah Allah merasakan perasaan yang sama seperti kita, para orang tua, rasakan dengan anak-anak kita yang ‘bodoh’, ‘keras kepala’, ‘selalu tidak percaya kalau diberitahu? Tampaknya sama dan alasannya juga sama dengan alasan mengapa anak kita berontak terhadap kita.

  • Fun/ kesenangan.

Kita tidak menyukai doa, pemahaman Alkitab, ketaatan dan disiplin karena tidak enak. Kita mencari kebenaran yang menghibur kita. Kita mencari gereja, pengkhotbah dan Tuhan berdasarkan prinsip “enak tidak” buat saya.

  • Di sini dan sekarang juga.

Hidup hanya untuk sekarang, di sini, yang kelihatan dan dapat dinikmati segera. Maka tidak heran yang digemari ialah janji Surga sudah tiba sekarang ini secara penuh sehingga tidak akan ada lagi kegagalan dan penyakit. Jadi anak Tuhan pasti kaya, sehat dan sukses.

  • Sementara.

Kita tidak tertarik dan tidak menyukai hal-hal yang bernilai kekal.

Sama seperti para orang tua yang baik, Allah melihat kita, anak-anak-Nya, menerima kriteria dan pilihan-Nya bagi kita. Jika orang tua duniawi terbatas dan dapat keliru menginginkan kita memercayainya apalagi Bapa Surgawi yang sempurna dan mahatahu. Betapa rindunya Ia agar kita setuju dengan-Nya dalam melihat hal “baik”. Ia mengundang kita bertobat, berpaling dari “baik” menurut kita kepada “baik” menurut-Nya. Ketika kita meminta, kita akan menerima yang baik di mata Allah.

Bagaimana dengan orang tua jenis kelima? Untuk menjelaskannya kita mengambil contoh Hizkia dan anak yang hilang.

HIZKIA

Ketika Hizkia sakit keras, Tuhan memandang adalah lebih baik jika pada saat itu ia pulang untuk tinggal bersama Allah. Saat itu Hizkia sedang berada di puncak karier, Berjaya dikasihi rakyat serta menjadi raja yang baik. Itulah “roti” dan “ikan” yang Tuhan sediakan baginya.

Hizkia sendiri tidak setuju. Baginya jika Tuhan berbuat demikian berarti memberinya “ular” dan “batu”. Masa orang sakit tidak disembuhkan? Lagipula mengapa pada saat sedang berada di puncak kehidupan malah dipanggil pulang? Bagi Hizkia: sehat, panjang umur, terus di puncak karier di dunia inilah yang baik. Maka itulah yang dimintanya dari Tuhan. Luar biasa, Tuhan mengabulkannya.

Sebenarnya Hizkia minta “roti” dan “ikan” atau “batu” dan “ular”? Jelas “batu” dan “ular” karena pada saat perpanjangan usia dan kembali hidup sehat itulah segala musibah kehancuran bagi Israel terjadi. Seandainya Hizkia menuruti Allah, betapa baik dan harumnya ia dikenang. Persoalannya, jika permintaan Hizkia adalah “batu” dan “ular”, mengapa Tuhan mengabulkannya? Hanya dengan cara itu Tuhan mengajar dan membuktikan kepada Hizkia bahwa pilihan-Nya yang benar.

ANAK YANG HILANG

Sang ayah jelas mengetahui bahwa memenuhi permintaan anaknya akan harta dan pergi dari rumah adalah memberi “batu” dan “ular”. Pemberian itu akan tambah merusak anaknya. Kalau begitu mengapa diberikan? Karena hanya dengan cara demikian akhirnya si anak belajar bahwa pilihannya ternyata bukan “roti” dan “ikan”. Pilihan ayahnya itulah yang sesungguhnya merupakan “roti” dan “ikan”.

Tanpa pertobatan dari kriteria diri kepada kriteria Tuhan maka dua kisah di atas akan terus terulang dalam kehidupan kita. Ketika Tuhan memberi kita “roti” dan “ikan”, justru kita merasa itu “batu” dan “ular” sehingga kita merasa Tuhan kejam dan jahat.

Hanya dengan menerima perspektif Allah, kita akan setuju mengatakan “itu batu” jika Allah mengatakan “itu batu’’; “itu ular” jika Allah mengatakan “itu ular”; “itu roti” jika Allah mengatakan “itu roti” dan “itu ikan” jika allah mengatakan “itu ikan”.

Bukankah ini yang Kristus tunjukkan kepada kita melalui kehidupan-Nya? Ketika di padang gurun, Iblis menawarkan seluruh hormat dan kekayaan dunia, Yesus menolaknya karena jelas itu adalah “batu’ dan “ular”. Sebaliknya di Getsemani saat Allah menawarkan-Nya salib yang mengerikan, Ia menerimanya dengan taat. Kristus memandang salib sebagai pilihan terbaik dari Bapa-Nya.

Setelah mengetahui hal-hal di atas, bagaimana seharusnya isi permohonan doa kita agar beroleh pemberian yang baik dari Allah? Mampukah kita meminta dari Tuhan, “Tuhan, berilah aku kekayaan kecuali melalui kemiskinan aku dapat lebih dekat dan memuliakan-Mu maka berilah aku kemiskinan.” Atau, Tuhan, berilah aku kesehatan kecuali melalui penyakit aku lebih dapat menjadi alat-Mu maka berilah aku penyakit.”

Sesungguhnya kita tidak tertarik mencari hal-hal yang mendewasakan kita menjadi serupa dengan Kristus tetapi malah mencari selera yang cocok bagi kenyamanan kita. Sesuatu kita nilai baik jika hal itu memberikan kita kenyamanan dan kenyamanan ini pula yang membuat kita tidak mau beranjak maju dibentuk Tuhan.

Kita harus bertobat karena telah menjadikan diri sendiri sebagai kriteria yang baik dan buruk. Untuk itu kita harus berbalik kepada Tuhan sebagai kriteria tertinggi.

Saduran dari buku: Menapaki Hari bersama Allah oleh Yohan Candawasa